Melihat judul di atas, barangkali Anda mencibir, “Hari gini hidup tanpa stres? Enggak Mungkin!” Eits, tunggu dulu, kita bisa kok hidup bebas stres, cuma ada triknya. Caranya?
Stres menjadi penyakit umum masyarakat
perkotaan. Coba sebut hal yang membuat Anda stres. “Biaya pendidikan
sekarang mahal. Bisa dibayangkan gimana kesalnya kita kalau anak tidak mau belajar, kerjanya cuma main hp atau games di internet? Yang ada, orangtua terutama ibu ngomel terus tiap hari,” ujar psikolog anak dan keluarga Dra Rustika Thamrin, Psi, CBA, Cht, CIPsi memberi contoh.
Perkembangan teknologi turut menjadi faktor stres. Saat ini ada saja teknologi teranyar. Rasanya, baru kemarin surfing
internet di komputer, kini tinggal klik lewat hp. Masalah hidup pun
kian kompleks. Hasil penelitian Holmes–Rake, permasalahan rumah tangga
menduduki peringkat tertinggi penyebab stres. Seperti, meninggalnya
pasangan hidup, perceraian dan marital separation (hubungan jarak jauh, red).
Akibat stres yang dibiarkan menumpuk,
kini psikolog kebanjiran kiriman pasien dari dokter. Sebab, banyak orang
sakit bermula dari stres. Nah lho?
Kenali Stres dan Jenisnya
Stres, menurut perempuan yang akrab
disapa Tika ini, adalah keadaan internal diri yang disebabkan adanya
tuntutan fisik, lingkungan atau situasi sosial. Misalnya, perilaku orang
lain terhadap kita, baru pindah rumah atau kantor.
Nah, yang harus diingat, lanjut Tika,
stres bersifat individual, tidak terkontrol, merusak fisiologis dan
fisik. “Berpotensi merusak, hanya kita sering tidak sadar,” imbuh ibu
tiga anak ini.
Hal itu terjadi karena ketidakseimbangan
antara daya tahan mental, individu itu sendiri dan beban yang
dirasakan. Pertanyaannya, apakah stres selalu mengganggu? Tika menjawab,
daya tahan stres setiap orang berbeda. Tergantung bagaimana pikiran dan
tubuh individu mempersepsikan suatu peristiwa. “Suka ngeh enggak ketika mendengar teman curhat, hati kecil kita bicara, Yah, baru segitu aja sudah stres?” katanya.
Ada dua jenis stres, yaitu eustress dan
distress. Eustress (stres positif) hasil dari respons stres yang
bersifat sehat, positif, membangun, kemampuan adaptasinya tinggi.
Contoh, ketika akan menghadapi ujian, kita rajin belajar. Saat berhasil
mengatasi stres, ada kenaikan level dalam diri yang membuat kita jadi
kuat. “Kalau sudah begini, percaya deh, stres itu malah bikin kangen,”
ujar psikolog yang praktik di Brawijaya Hospitals itu.
Lain lagi dengan distress. Hasil responsnya tidak sehat, negatif dan merusak. Ini terjadi karena kita tak mampu mengatasi stres.
Akibat Stres
Allah swt menciptakan tubuh kita
kongruen antara perilaku, emosi dan fisik. Lalu, bagaimana bila
ketiganya tidak selaras? “Itulah yang terjadi jika kita stres,” kata
Tika.
Dampaknya, emosi mudah cemas, bingung,
marah, sensitif, cepat lupa, komunikasi kurang efektif, menarik diri,
terkucil, bosan, tidak puas bekerja, lelah mental, penurunan fungsi
intelektual, kurang konsentrasi, kehilangan daya spontanitas,
kreativitas, serta menurunnya percaya diri. “Emosi menentukan kualitas
hidup di tempat kerja, persahabatan, keluarga, bahkan hubungan intim
dengan pasangan,” ungkapnya.
Sementara efeknya bagi tubuh, hormon
stres, luka, kelelahan fisik meningkat, gangguan pernafasan, kulit,
diare, migrain, sakit punggung, otot tegang, insomnia, serta rusaknya
fungsi imun tubuh termasuk risiko mengidap kanker. “Sakit fisik tidak
terjadi tiba-tiba melainkan akibat stres menumpuk, akhirnya jadi
penyakit,” jelas perempuan kelahiran Jakarta, 21 Maret 1967 ini.
Stres juga mempengaruhi perilaku.
Cermati karyawan yang sering absen, perilaku menyabotase pekerjaan,
nafsu makan meningkat atau sebaliknya bulimia, depresi, menyetir tidak
hati-hati, menurunnya hubungan interpersonal, kecenderungan bunuh diri,
dan menurunnya prestasi kerja. Nah, penyebab terakhir ini paling
ditakuti perusahaan-perusahaan di Inggris. Sebab, stres di lingkungan
kerja berdampak tak tercapainya target perusahaan.
Jadi, sambung Tika, Anda yang menentukan hidup ini. “Mau bahagia atau hancur karena stres? It's up to you,” ujar perempuan yang hobi traveling ini.
Formula Bebas Stres
Mana yang biasanya Anda lakukan saat
stres, menahan diri, mengacuhkan atau melampiaskan? Menurut Tika, yang
tepat adalah ikhlas menerimanya.
Ketika Anda, misalnya, kesal dengan
teman kerja. Anda jadi malas bertemu dan sibuk cari cara menghindarinya.
Itu artinya Anda belum ikhlas. Akhirnya, jadi stres. “Hidup kok jadi
enggak nyaman lagi ya?” tanya Tika. Kalau Anda merasakan itu, pertanda
bagus, Anda sadar dan mau berubah.
Untuk terbebas dari stres, ia
menyarankan kita membersihkan emosi negatif masa lalu. Hambatan datang
saat kita merasa tidak mampu, takut dan khawatir. Anda pun tenggelam
dalam penyesalan yang identik dengan kata 'andaikan'. “Semua dapat kita
atasi, asal kita punya tujuan jelas mengapa harus menghapus emosi
negatif tadi,” imbuhnya.
Kunci menerima dengan ikhlas terletak pada kemampuan mempertajam pancaindera sehingga kita lebih peka menjalani kehidupan.
Ada dua hal yang mempengaruhi emosi.
Yaitu, pikiran alam sadar dan bawah sadar. Kenyataannya, 88 persen
penggerak kita adalah alam bawah sadar. Dia sesuatu yang bodoh tapi kuat
mempengaruhi kita. Seperti kebiasaan, trauma masa lalu, dan keyakinan.
Nah, sekarang, tutup kedua mata Anda.
Bayangkan kota dengan gedung-gedung tua dan berawan gelap. Buka mata,
apa yang Anda rasakan? Di antara Anda mungkin merasa seram atau suram.
Tutup lagi mata Anda, bayangkan kota
yang sama, tapi ubah langitnya menjadi biru cerah, warnai
gedung-gedungnya. Lalu, Anda bisa melihat orang-orang yang baru selesai
makan siang keluar gedung, mereka tampak ceria, Anda bisa mendengar
mereka tertawa, bahkan Anda bisa merasakan kebahagiaan mereka. Sekarang
buka mata, ceritakan apa yang Anda rasakan. Apakah Anda merasa lebih
baik?
Semakin Anda terlatih, semakin mudah Anda menemukan formula bebas stres. Tika menyingkatnya, 'kiss it now' alias keep it simple stay in the now. “Biasakan bersyukur dan enjoy your stress!” pungkasnya. Yuk, hidup sehat tanpa stres!
No comments:
Post a Comment